Selasa, 15 Januari 2013

RRSEP SAYUR UMBUT KELAPA


Bahan :
  • 1 kg Umbut atau pohon kelapa bagian atas yang masih muda, diiris tipis, di rendam supaya tidak berubah warna menjadi merah.
  •  ½ kg tulang iga sapi atau ayam , dipotong-potong lalu bersihkan.
  • 1 iris Labu kuning ,dipotong setebal 2cm 


Bumbu :


  • 2 gelas santan kental dan 6 gelas santan cair .
  • 1 ruas kunyit
  • laos dan serai
  • 3 lembar daun salam
  • 1 sendok teh ketumbar
  • sedikit terasi dan garam
  • 6 siung bawang merah
  • 2 siung bawang putih


Cara membuat :


  • Tiriskan umbut yang telah direndam.
  • Rebus tulangan/ayam sampai agak matang, lalu masukkan umbut, dan labu kuning.
  • Gerus/tumbuk semua bumbu sampai halus, kecuali daun salam, laos, dan serai. 
  • Masukan bumbu kedalam wajan umbut yang sedang direbus. Biarkan matang dan meresap.
  • Kalau air berkurang bisa ditambahkan sesuai selera. 

  Siap dihidangkan.

Resep Pengkang




Bahan:
Ketan   250 gr (rendam sekitar 1 jam, tiriskan)
Santan kental   200 ml
Garam 
Daun pandan   1 lbr

Isi:
Ebi   50 gr (rendam, haluskan)
Daun bawang   1 btg (iris kecil)
Margarin  1 sdm (untuk menumis)
Garam 
Merica 
Bawang putih   1 sdm (dihaluskan)
Bawang merah   1 sdm (dihaluskan)
Keju parut   50 gr
Daun pisang (untuk membungkus)
Bambu (untuk menjepit)


Cara Memasak:
1. Kukus ketan sampai setengah matang.
2. Rebus santan kental, garam, dan daun pandan sambil diaduk sampai mendidih. Angkat.
3. Campur ketan dengan santan sambil diaduk rata. Biarkan sebentar hingga meresap. 
4. Kukus lagi sampai ketan matang. Angkat dan sisihkan. 
5. Isi: Tumis bawang merah dan bawang putih. Masukkan ebi. Aduk rata. Masukkan garam, merica, keju, dan daun bawang. Aduk rata dan angkat.
6. Bagi ketan menjadi 10 bagian. Beri adonan isi lalu bentuk kerucut.
7. Bungkus dengan daun pisang dan jepit dengan bambu.
8. Panggang sambil diolesi dengan minyak agar mengkilat sebelum disajikan. 
9. Sajikan hangat-hangat.


Info Saji:
Untuk : 10 potong (142 kalori/potong)
(Resep:Tuti Soenardi/Kompas)

Rabu, 21 Desember 2011

Martabak Mini

 

Bahan :
20 lembar kulit lumpia
3 batang daun bawang besar
1/2 butir bawang bombay, dirajang halus
2 sdt ketumbar halus
1 sdt pala halus
1/2 sdt merica halus
5 sdm kecap manis
100 gram proteina cincang
2 buah tahu cina ukuran besar
garam secukupnya
Minyak untuk menggoreng
1/2 sdm tepung kanji + 2 sdm air untuk merekatkan kulit lumpia

Cara membuat :
1. Tumis bawang bombay dan lalu masukkan proteina yg telah direndam air dan ditiriskan, tahu, merica, pala, ketumbar, garam, dan kecap manis.Masak sampai kering
2. Campur dengan daun bawang. Aduk rata.
3. Ambil satu lembar kulit lumpia, isikan 2 sdm campuran proteina. Lipat kulitnya seperti amplop. Olesi ujung kulitnya dengan air tepung kanji supaya menempel.
4. Panaskan minyak lalu goreng hingga kulit matang, balik satu kali saja lalu angkat.

Sumber : http://resepvegan.com/

Kamis, 29 September 2011

Menulis dan Membaca

Seorang dosen pernah bilang, "Budaya menulis masih sangat rendah di Indonesia." Sumpah, saya nyaris tertawa. Mengapa? karena menurut saya, hal tersebut merupakan keniscayaan. Dan sayangnya, akan terus begitu hingga rakyat Indonesia membudayakan budaya yang satu ini; MEMBACA.

Untuk dapat menulis, diperlukan perbendaharaan kosakata yang kaya, dan darimana itu didapat? dari membaca. Belum lagi jika kita akan menulis tentang sebuah negeri atau bahkan lebih sederhananya sebuah kota yang tak pernah kita kunjungi dan tak juga pernah kita lihat di tv, lantas dimana kita akan menemukan cara membayangkannya? lagi-lagi dari membaca. Bahkan gambaran tentang surga dan neraka, bukankah awalnya di dapat ketika manusia membaca kitab suci?

Seorang penulis pada awalnya selalu merupakan seorang pembaca. Tak mungkin menulis tanpa lebih dulu membaca. Seorang pembaca yang hebat besar kemungkinannya menjadi penulis yang hebat pula. Dengan membaca, manusia bisa melakukan apa saja. Mendengar saran Dale Carniegie yang wafat lebih dari setengah abad yang lalu, berpindah dari Belitung ke Paris, Prancis bersama Andrea Hirata atau bahkan berdiri di balkon sebuah rumah di Verona, Italia sambil mendengar Romeo merayu Juliet. Dengan membaca, jutaan ide dan imajinasi bisa mengalir deras tanpa batas.

Masalahnya, bagaimana mungkin rakyat Indonesia gemar membaca sementara harga buku bacaan bisa dibilang relatif tidak terjangkau. Buku-buku non fiksi bermutu hampir bisa dipastikan harganya lebih dari lima puluh ribu. Mungkin ada yang lantas bilang; ah gampang, kan sekarang bisa baca lewat internet. Hello, saya tidak bicara tentang anda! Saya bicara tentang ratusan juta rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, yang jangankan untuk membeli laptop dan modem, untuk makan saja sudah pusing. Harga buku bacaan non fiksi yang tergolong murah saat ini sekitar belasan ribu, katakanlah Rp.18.000,- itupun tipisnya sudah ampun-ampunan. Kalau dikonversikan ke beras kuaitas sedang, harga satu buku kurang lebih setara dengan dua kiloan beras. Nah, kalau sudah begini pilih mana? Beli buku atau makan? Saya rasa saya tidak perlu menjawab, anda pasti sudah tahu jawabannya. Kabar buruknya lagi, menurut data BPS bulan Maret 2011, lebih dari 50% rakyat Indonesia miskin. Nah, sekarang anda mengerti kan Pak Dosen, mengapa rakyat Indonesia tidak terbiasa menulis?

Jualan atau Cerita?

Setelah melewati masa-masa dilematis 'mau diapakan blog ini?' sekarang saya kembali dihadang pertanyaan yang -setidaknya bagi saya- cukup membingungkan. Blog ini, apakah bersifat komersial ataukah lebih cenderung ke blog pribadi? Kalau dibilang blog pribadi, mengapa saya berjualan di blog ini? Saya bahkan menaruh tata cara pemesanan dan pembayaran di halaman muka. Tetapi kalau ini dikatakan blog komersial, mengapa banyak tulisan saya yang tidak ada sangkut pautnya dengan barang dagangan saya. Bahkan -harus diakui- saya lebih banyak menulis hal remeh-temeh seputar pengalaman pribadi saya.

Hmm, bagaimana ya cara menjelaskannya? Saya memang seorang penjual. Dulu sebelum saya mempunyai website, saya menggunakan blog ini sebagai pendukung utama bisnis online saya. Tapi belakangan ini, saya merasa lebih enak kalau saya menulis sesuatu tanpa harus berjualan di dalamnya. Rasanya risih sekali harus memberikan tips-tips tapi ujung-ujungnya saya mempromosikan suatu barang. Saya yakin beberapa pembaca, mungkin termasuk anda, merasa 'gubrak' ketika membacanya. Ketahuilah, bukan hanya anda, tapi saya juga.

Sedangkan ketika saya menulis omongan ngelantur saya, saya merasa lebih rileks. Saya tidak perlu lagi mereka-reka kalimat apa ya yang kira-kira akan menggiring seorang pembaca menjadi pembeli potensial. Saya bebas berbicara tentang apa saja, bukan hanya mengenai produk yang saya jual. Saya lepas dalam menceritakan apa yang terlintas dalam pikiran saya. Ini tidak lantas berarti saya berhenti menjadi seorang penjual, bukan begitu. Saya hanya ingin menunjukan bahwa inilah saya; Wiwin Oktavianti, owner Milyuner Store dan inilah yang saya pikirkan, inilah aktivitas saya dan inilah hidup saya. Saya, sama seperti kebanyakan orang lainnya, adalah orang biasa yang ingin sekali berbagi cerita.

Kenapa Usaha Harus Satu?

Di setiap tips atau cara menjadi pengusaha pasti akan slalu disebutkan bahwa seorang pengusaha harus bisa fokus. Beberapa mengatakan begini; jangan mengubah usaha hingga usaha itu sendiri yang berubah. Bahkan dicontohkan, bahwa sekalipun Virgin Group saat ini menggurita, pada awalnya sang bos hanya menggeluti satu bidang terlebih dahulu baru kemudian melakukan ekspansi. Tapi saya yakin meskipun seringkali membaca atau bahkan mendengar langsung nasihat tersebut, masih banyak sekali pengusaha pemula dengan sangat 'berani'nya mengabaikannya. Termasuk saya.

Saya mulai jatuh cinta pada dunia usaha saat umur saya delapan belas tahun. Saya ingat betul apa yang saya lakukan saat itu; berjam-jam di perpustakaan daerah demi mencari sebuah ide usaha. Sekian ribu buku, sekian ratus ribu ide cemerlang. Ide usaha yang ingin saya realisasikan dengan mudahnya berubah-ubah. Sebentar saya bilang kios pulsa (waktu itu belum banyak seperti sekarang), sebentar lagi saya bilang peternakan bebek, tidak lama kemudian berubah lagi jadi agribisnis cabe. Akibatnya dapat dengan mudah ditebak, tidak satupun dari rencana tersebut terealisasikan (memang saya akhirnya menanam beberapa pohon cabe, tapi kalau cuma belasan pohon jelas tidak masuk hitungan usaha kan?)

Hingga beberapa tahun kemudian, saya tetap ngeyel bahwa saya bisa melakukan semuanya. Pilih satu jenis usaha itu kuno. Apalagi jika harus menunggu sampai usaha itu berkembang. Pikir saya waktu itu, kenapa harus satu jika bisa banyak? Terus kalau memang tidak berkembang, ya tinggalkan saja. Cari usaha lain, repot amat? Benar-benar pikiran yang sesat! Akibatnya saya teramat sukses dalam hal kecepatan berganti-ganti usaha.

Ini beberapa dari sekian banyak jenis usaha yang pernah saya coba. Peternakan Kelinci; saya menewaskan delapan ekor kelinci (empat karena salah makan, dua karena lupa dikasi makan, satu masuk angin dan yang satu lagi terjun bebas dari lantai dua). Budidaya Ikan Hias; kok perasaan saya ikannya nggak gede-gede? Yang udah gede jangankan mau bertelur, kawin aja ogah. Kerjaannya kejar-kejaran melulu di bak persis kayak Shahrukh Khan dan Kajol. Fotografer; saya menciptakan ukuran pasfoto baru yang tak terstandar, nggak jelas apakah itu 3x4 atau 4x6, sepertinya diantaranya. Beralih lagi ke Budidaya Kucing Ras Anggora; supaya murah beli kucing yang masih kecil, tapi heran juga kok makin gede malah makin mirip kucing kampung? Malah cakepan kucing kampung kayaknya.

Dan masih banyak lagi hal konyol yang saya lakukan karena ketidakfokusan saya. Tapi itu belum berarti saya sudah belajar. Saya tidak juga kapok mengulangi kebodohan yang sama. Waktu itu saya memiliki modal, sekitar 11 juta. Seandainya saja saya fokuskan ke satu jenis usaha, mungkin usaha itu sudah besar sekarang. Kalau saya bilang seandainya jelas itu tidak terjadi kan? Karena yang saya lakukan adalah; saya ingin memulai usaha percetakan foto rumahan, perkebunan cabe, dan budidaya ikan konsumsi. Sekaligus!

Hasilnya? Wah, super sekali. Karena terbagi, uangnya hanya cukup untuk membeli sebuah komputer bekas, yang lebih sering error daripada benernya. Studionya lebih sering tutup daripada buka. Karyawan saya juga lebih sering nganggur daripada kerja. Kloplah pokoknya. Perkebunan Cabe? ternyata lahan kosong di halaman rumah saya tidak dapat ditanami. Terpaksa harus beli tanah karungan. Berapa yang saya beli? Hanya 9 karung, jangankan untuk mencukupi kebutuhan cabe satu pasar, satu gang saja ngimpi! Budidaya ikan adalah yang paling menggenaskan. Saya membeli sekitar 80 ekor bibit Gurami, 75 ekor ikan Mas, 250 ekor Bawal, 30 ekor Nila, dan 30 ekor Patin. Banyakkan? Tapi.. saya tidak punya uang lagi untuk membangun kolamnya! Ikan-ikan tersebut berhimpit-himpitan di bak mandi rumah saya dan kami sekeluarga resmi tidak memiliki kamar mandi. Super kapok!

Jadi intinya apa? intinya.. kalau ada yang menyarankan anda untuk membuka lebih dari satu usaha di awal perjalanan karier anda sebagai seorang pengusaha, lekas tampar dia! *Ya, sekalipun orang itu adalah diri anda sendiri!

Rabu, 28 September 2011

Bebas yang Terlepas

Sepanjang sejarah Indonesia, rakyat Indonesia yang hidup di era sekarang ini adalah yang paling merdeka dalam berbicara dan berpendapat. Bayangkan, dulu orang sangat hati-hati dalam berbicara. Takut keceplos paginya, sore sudah dijemput masuk bui. Iya kalau 'cuma' dipenjara, nah kalau diintai petrus (penembak misterius)? alamat jadi matius alias mati misterius.

Sementara sekarang? Hak untuk berbicara dan berpendapat mulai diagung-agungkan. Tidak salah sebenarnya. Harus diakui juga, berubahnya rezim Indonesia salah satunya adalah berkat 'suara-suara' mahasiswa dan sabetan pena tajam para jurnalis. Tapi sayangnya, kebebasan itu sekarang menjadi sungguh terlalu. Siapa saja berhak bicara. Semua bebas diomongkan. Mulai dari artis yang selingkuh, oknum pajak yang korup, politikus yang ambisius, hingga merembet pada urusan agama. Sayangnya lagi, kebebasan berbicara dan berpendapat ini, tidak disertai dengan pemahaman akan etika.

Mari kita menoleh sejenak. Lihat salah satu penyedia berita terpopuler di internet; Yahoo. Entah mengapa, tidak peduli apapun topiknya, hampir setiap tulisan yang muncul di Yahoo akan diakhiri saling hujat dengan membawa-bawa agama di box komentarnya. Di bulan Ramadhan tahun ini, saya pernah membaca tulisan tentang Lailatul Qadr, seingat saya. Tulisan yang bagus. Tapi yang tidak saya mengerti, kenapa komentar-komentar dibawahnya justru seperti tempat sampah? Makian ala kebun binatang lengkap disana. Masing-masing ngotot bahwa diri dan agamanyalah yang benar. Yang lain salah dan sah-sah saja dihina. Ingin rasanya berteriak pada semua komentator di sana, "hellooo, what's wrong with you...?!"

Menoleh lagi ke sisi lain; Facebook. Hare gene siapa sih yang ga punya akun facebook? Hanya bermodal sebuah akun email -yang juga didapat dengan gratis- semua orang bisa memiliki akun facebook. Sekarang anda lihat, dari ratusan ribu (atau bahkan jutaan) akun itu pasti anda akan menjumpai segelintir orang -yang entah apa tujuannya- menghina agama lain secara terang-terangan di wall-nya. Sejauh ini saya, secara tidak sengaja, menemukan tiga akun facebook yang jelas-jelas sangat menghina Islam. Salah satunya bahkan teramat sangat merendahkan Junjungan kami, Nabi Besar Muhammad SAW.

Tapi yang amat saya sayangkan disini adalah, mengapa umat Islam membalas dengan cara yang hampir sama parahnya? Mulai dari memaki hingga melaknat. Bukankah Allah SWT sangat memuliakan manusia, Dia -Yang Maha Pencipta- memanggil manusia dengan sebutan yang baik-baik. Siapa kamu hai manusia hingga berani melaknat manusia lainnya? Tidak berhenti disana, beberapa orang bahkan ikut terpancing membalas merendahkan agama lain. Menghina orang suci di agama tersebut. Kalau begitu apa bedanya dia dan anda? Kenapa begitu mudah terprovokasi? Saya juga seorang muslim, tapi saya yakin umat agama lain menghormati agama Islam. Sementara orang yang menjelek-jelekan Islam itu? Hanya dia dan Tuhanlah yang tau apa maunya. Kalaupun memang ada umat lain yang menjelekan Islam? Saya tetap percaya, itu hanyalah oknum.

Akhirnya, kalau memang Islam ingin menunjukan fitrahnya sebagai agama yang merupakan rahmatan lil alamin, tak perlulah kita, umat Islam, berbicara hingga terlepas pada makian apalagi kata-kata melaknat. Juga tak perlu berpendapat miring tentang agama orang lain. Cukuplah agamamu bagimu dan agamaku bagiku. Tunjukan, bahwa umat Islam itu terpelihara lisan dan tindakannya. Kalaupun anda ingin menyanggah, sanggahlah dengan santun. Kalau memang anda terlampau marah pada orang tersebut hingga tak dapat memikirkan komentar apapun selain mengabsen nama penghuni kebun binatang, maka yang terbaik yang dapat anda lakukan adalah mengklik tanda x di sudut kanan atas. Kembalilah saat anda sudah lebih tenang, jika memang anda ingin. Jangan pernah anda kira, mentang-mentang komentar itu anda buat hanya dengan memencet-mencet keyboard lantas Allah takkan menghitungnya. Dia sungguh Maha Mengetahui.

Gadget Oh Gadget

Dunia teknologi semakin menggila. Setiap hari selalu ada yang baru. Otak manusia sepertinya telah mencapai kemampuan menciptakan hal-hal yang tak terbayangkan beberapa tahun yang lalu. Gadget berkembang bukan lagi mengikuti deret aritmatika tapi telah meluncur bersama deret geometri.

Kalau dulu, setelah satu gadget diluncurkan paling tidak butuh waktu beberapa bulan kedepan baru akan keluar gadget terbaru lainnya. Tapi sekarang? Hari ini beli gadget baru dengan teknologi termuktahir, beberapa minggu kemudian sudah keluar yang lebih canggih lagi. Belum lekang Blackberry dengan BBMnya, muncul Tablet-tablet nan menawan. Belum punya yang Tablet, Iphone 5 sudah digadang-gadang. Untuk gadget freak, jelas ini suatu penderitaan. Kalau memang budgetnya mencukupi sih tidak masalah. Tapi kalau pas-pasan? Nggak dibeli bakalan di cap nggak hi-tech, tapi kalau dituruti bisa bikin kantong cekak, bangkrut kelas berat.

Bahkan buat orang seperti saya -yang biasa2 saja- gadget juga merupakan suatu dilema tersendiri. Di satu sisi, jujur saja saya ingin. Tapi di sisi lain, logika saya jelas melarang. Saya termasuk orang yang cukup cermat dalam mengatur pos-pos pengeluaran. Mungkin, salah satu sebabnya adalah karena saya sudah mulai bekerja di perantauan sejak umur 16tahun. Dan pekerjaan saya yang pertama adalah berdiri di samping mesin selama kurang lebih antara 9 hingga 12 jam sehari. Kadang-kadang malah sampai 17jam sehari. Bukan perkerjaan yang terlalu menyenangkan. Ditambah lagi fakta bahwa mess perusahaan saya terletak di lantai 3 di sebuah tempat yang konturnya berbukit. Jadi setelah berdiri seharian, saya harus 'mendaki' untuk sampai ke tempat tinggal saya. Tidak bisa langsung beristirahat, karena saya harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan beres-beres sendiri.

Dari sana saya belajar untuk menghargai setiap sen uang yang saya dapat dari keringat saya. Bahkan sekalipun sekarang saya bekerja tanpa harus berkeringat, saya tetap seperti itu. Apalagi, setelah saya analisa ternyata penggunaan gadget yang saya idam-idamkan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pemasukan dan performa pekerjaan saya. Memang ada pengaruhnya, tapi tidak signifikan. So, I say no to those gadget.

Bukan apa-apa, saya sadar betul, tidak selamanya kita dapat bekerja. Juga tidak selamanya, segala sesuatu akan berjalan sesuai rencana. Ada banyak hal tak terduga yang mungkin saja terjadi. Alangkah baiknya -selagi bisa- jika pendapatan kita manfaatkan untuk sesuatu yang lebih berguna. Membangun aset atau berinvestasi misalnya? Fyi, sebuah gadget hi-tech itu kurang lebih sama nilainya dengan 10 gram emas batangan bersertifikat PT. Antam. Anda catat perkataan saya, tidak lama lagi gadget itu akan melorot nilainya. Di saat anda mengalami kesulitan finansial, bisa jadi anda akan menyesal telah membelinya. Sedangkan emas itu? Siapa tahu itu merupakan salah satu kunci anda menuju kekayaan. Buktikan sendiri.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes